KABUPATEN Banyuwangi, Jawa Timur, menjadi lokasi percontohan nasional untuk budi daya udang berkelanjutan melalui Shrimp Improvement Program (SIP). Program ini dirancang untuk menjawab dua tantangan besar industri udang: keberlanjutan ekosistem pesisir dan daya saing produk di pasar global.
Konservasi Indonesia (KI) menjalin kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, industri udang, perguruan tinggi, dan kelompok petambak lokal di Desa Wringinputih, Kecamatan Muncar, untuk program percontohan yang dimaksud tersebut. Dalam pelaksanaannya, Shrimp Improvement Program mengintegrasikan sistem tambak dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), sehingga limbah budi daya tidak langsung dibuang ke laut.
“Cara ini terbukti menekan risiko gagal panen akibat penyakit, sekaligus menjaga kualitas air dan lingkungan di sekitar tambak,” bunyi keterangan tertulis yang dibagikan KI pada 14 Oktober 2025.
Konservasi Indonesia telah mendampingi kelompok petambak di Desa Wringinputih sejak Januari 2024 melalui Program Climate Smart Shrimp Aquaculture (CSSA). Program itu sendiri akan berlangsung terus hingga 2027.
CSSA menggabungkan pengelolaan air bersih, IPAL, dan restorasi hutan mangrove dalam satu sistem produksi. Pendekatan ini dianggap tak hanya penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga meminimalkan risiko kontaminasi pada udang dan meningkatkan kesejahteraan petambak.
Tambak budi daya udang vaname di Lalombi, Donggala, Sulawesi Tengah, yang juga telah melibatkan penggunaan IPAL dan konservasi mangrove. Dok.Konservasi Indonesia/Eko Siswono Toyudho
“Kolaborasi lintas sektor tentunya sangat penting agar praktik ramah lingkungan menjadi standar baru dalam industri udang,” kata Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, saat membuka Banyuwangi Shrimp Fair (BSF) 2025, yang digelar di El Hotel Banyuwangi pada 14 Oktober. Festival dijadwalkan berakhir 16 Oktober.
Selain menjadi tempat bertemunya para pelaku industri dan petambak, Forum BSF 2025 juga menjadi ruang bertemunya para peneliti dan pembuat kebijakan. KI menilai, diskusi lintas pihak seperti ini sangat diperlukan untuk memastikan perlindungan alam dapat berjalan beriringan dengan meningkatnya perekonomian.
Dalam sesi seminar BSF 2025, Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia Victor Nikijuluw menyampaikan pentingnya arah baru dalam budi daya udang nasional, yakni dengan pendekatan ilmiah dalam mengelola kawasan tambak. KI pun, kata dia, telah menerapkan pendekatan yurisdiksi yang menyelaraskan tujuan sosial, ekonomi, dan konservasi lintas sektor (KLS).
Ia menekankan KLS merupakan tempat berjumpa para pelaku industri dan petambak untuk menggali ide bersama dalam memecahkan tantangan. Harapannya, KLS Banyuwangi akan mulai bekerja efektif setelah secara resmi dibentuk oleh Bupati.
Konsep budi daya ramah lingkungan, Victor mengingatkan, tak hanya soal teknologi pengolahan limbah. “Yang utama adalah membangun kapasitas petambak, melalui pelatihan dan transfer pengetahuan, kami dukung petambak memahami pentingnya menjaga kualitas air, mencegah penyakit, dan menerapkan nature-based solutions (NBS) agar produktivitas budi daya udang aman serta ekosistem pesisir tetap sehat,” tutur dia.
Victor menjelaskan, KI bersama mitra tengah membangun IPAL komunal yang mampu menampung limbah dari 13 hingga 15 petambak sekaligus di Desa Wringinputih. Air hasil olahan IPAL diharapkan akan kembali ke laut dalam kondisi aman. Di sisi lain, kawasan mangrove seluas 4,1 hektare juga direstorasi dari total area tambak sekitar 406 hektare di desa ini.
Dari sisi petambak, inisiatif ini disambut positif. Syahrul (28) petambak tradisional Desa Wringinputih, mengatakan pendampingan yang diberikan memberi rasa tenang dan menepis kekhawatiran di sisi petambak dan publik soal isu kontaminasi.
“Udang dari tambak kami aman dan tidak terkontaminasi apa pun. Masyarakat jangan khawatir membeli udang lokal,” kata Syahrul. “Kami pakai air bersih, tambak diawasi, dan prosesnya transparan. Jadi isu soal udang terkontaminasi radioaktif itu sama sekali tidak terjadi di Banyuwangi.”
Kepala Balai Besar Perikanan Budi Daya Air Payau, Ditjen Perikanan Budi Daya KKP, Supito, menyebut program ini sejalan dengan arah kebijakan nasional dalam membangun industri udang berkelanjutan. “Pasar global kini menuntut transparansi jejak karbon dalam setiap produk,” kata Supito. “Dengan integrasi penilaian reduksi karbon di tambak, udang dari Banyuwangi akan lebih kompetitif di pasar internasional sekaligus memenuhi standar keberlanjutan negara importir,” imbuh dia.
Supito menambahkan, Banyuwangi bisa menjadi model pengelolaan tambak modern yang berpihak pada petambak kecil tanpa mengorbankan lingkungan. Pemerintah, katanya, tengah mendorong replikasi program ini ke daerah lain di Indonesia, terutama di kawasan dengan potensi budi daya tinggi seperti Sulawesi Selatan dan Lampung.
Program budi daya udang lewat SIP dan CSSA tak hanya memperbaiki tata kelola tambak, tapi juga berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya terkait pengentasan kemiskinan, perlindungan ekosistem laut, dan pengurangan emisi karbon dari sektor perikanan. Dengan langkah ini, Banyuwangi bukan hanya memperkuat posisinya sebagai sentra udang nasional, tapi juga membuka jalan baru menuju industri perikanan yang lebih hijau dan berdaya saing global.
Pilihan Editor: Ke Luar dari Warisan Dunia demi Proyek Panas Bumi
